Jumat, 30 Mei 2008

KOMITMEN ORGANISASI

Oleh: Tita Meirina Djuwita

Abstrak

Komitmen organisasi dapat diartikan sebagai suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap pegawai untuk menunjukkan loyalitas terhadap organisasi di mana mereka bekerja. Pada dasarnya komitmen organisasi berkaitan erat dengan aspek-aspek psikologis dalam penerimaan dan kepercayaan terhadap nilai-nilai serta tujuan organisasi dimunculkan melalui keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Untuk menanamkan loyalitas pegawai supaya berkomitmen tinggi, hendaknya sejak awal memasuki lingkungan organisasi baru, pegawai diperkenalkan dengan visi, misi, tujuan, sasaran nilai, serta komitmen organisasi tersebut.

Pendahuluan
Untuk mencapai keunggulan bersaing (competitive advantage), organisasi memerlukan berbagai faktor pendukung. Salah satu pendukungnya adalah kepemimpinan organisasi dalam membangun komitmen para pegawainya. Luthans (2002:235) mendefinisikan komitmen organisasi dalam tiga pengertian, yakni sebagai (1) suatu kekuatan sikap sekaligus keputusan yang menjadi bagian organisasi, (2) suatu keinginan atau kehendak untuk mewujudkan kinerja tinggi sebagai bagian yang harus ditumbuhkembangkan dalam organisasi, dan sebagai (3) suatu keyakinan yang diterima sebagai value/nilai sekaligus tujuan yang harus dicapai oleh organisasi.
Menurut Greenberg dan Baron (1997:190), komitmen organisasi menggambarkan seberapa jauh seseorang itu mengidentifikasi dan melibatkan dirinya pada organisasi dan keinginan untuk tetap tinggal di organisasi itu. Adapun Porter, Mowday, dan Steers (dalam Miner, 1992:124) menyatakan bahwa komitmen organisasional sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasi keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi). Sikap ini ditandai oleh tiga hal, yaitu:
1. Kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi,
2. Kesediaan untuk sungguh-sungguh berusaha atas nama organisasi,
3. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi.
Robbins (dalam Sjabadhyni, dkk., 2001:456) memandang komitmen organisasi sebagai salah satu sikap kerja karena merefleksikan perasaan seseorang terhadap organisasi tempat ia bekerja. Komitmen adalah orientasi individu terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi, dan keterlibatan. Pada intinya, istilah komitmen organisasi memiliki penekanan pada proses yang dialami pegawai dalam mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi. Dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan organisasi secara aktif.
Pada dasarnya, komitmen organisasi tidak terbatas pada pimpinan yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, melainkan kepada seluruh pegawai dalam organisasi. Komitmen organisasi dan komitmen setiap pegawai dalam organisasi dapat dipengaruhi oleh karakteristik organisasi, sebab pegawai yang mempunyai kinerja yang tinggi akan semakin berkembang jika bekerja pada lingkungan organisasi yang memiliki komitmen kinerja tinggi yang didukung oleh semangat kerja para pegawai, menuntut para pegawainya untuk mempunyai komitmen kerja yang tinggi, sehingga lingkungan yang demikian akan mempengaruhi pegawai untuk meingkatkan prestasi kerjanya.
Adapun beberapa hal yang menjadi permasalahan utama dalam setiap organisasi berkenaan dengan komitmen organisasi yakni sebagai berikut:
a. Bagaimana komitmen organisasi dilihat dari sudut pandang teoretis?
b. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi?
c. Upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan komitmen organisasi?
d. Bagaimana menganalisis komitmen organisasi?
Pembahasan
1. Teori Komitmen Organisasi
Dimensi komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen sebagaimana ditulis oleh Luthans, Sweeney, dan McFarlin (2002: 237) memiliki tiga komponen pokok, yaitu:
1. Affective Commitment, termasuk di dalamnya hubungan emosional pegawai dengan organisasi dan keterlibatan diri dalam organisasi.
2. Continuance commitment, termasuk di dalamnya hal-hal yang melandasi loyalitas pegawai terhadap organisasi.
3. Normative commitment, yaitu perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi.
O’Reilly dan Chapman (dalam Laka-Mathebula, 2004:15) mendefinisikan komitmen organisasi berdasarkan tiga kriteria, yaitu:
1. Compliance, yang menunjukkan keterikatan secara instrumental pada penghargaan ekstrinsik tertentu.
2. Identification, menunjukkan keterikatan berdasarkan keingan untuk berafiliasi dengan organisasi.
3. Internalization, menunjukkan keterlibatan karena kesesuaian antara nilai-nilai individu dengan organisasi.
Jaros (dalam Laka-Mathebula, 2004:15) membedakan komitmen organisasional dalam tiga dimensi, yaitu:
1. Affective, yaitu tingkat keterikatan secara psikologis dari individu untuk menjadi pegawai dalam organisasi.
2. Continuance, yaitu perasaan individu karena tingginya resiko yang akan dihadapi bila meninggalkan organisasi.
3. Moral, yaitu tingkat di mana individu terikat secara psikologis untuk tujuan menjadi pegawai di organisasi melalui intenalisasi terhadap tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan misi.
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, pada dasarnya komitmen organisasi berkaitan dengan aspek psikologis dalam penerimaan dan kepercayaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi sehingga dapat ditampilkan melalui kesetiaan serta keinginan untuk terus menjadi anggota organisasi.
2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Komitmen Organisasi
Menurut Steers (dalam Sjahbandhyni, 2001:460), ada tiga penyebab komitmen organisasi, yaitu: karakteristik pribadi (kebutuhan berprestasi, masa kerja/jabatan, dan lain-lain), karakteristik pekerjaan (umpan balik, identitas tugas, kesempatan untuk berinteraksi, dll), dan pengalaman kerja. Model tersebut kemudian dimodifikasi menjadi karakteristik pribadi (usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin), karakteristik peran/pekerjaan, karakteristik struktural (berkaitan dengan tingkat formalisasi, ketergantungan fungsional dan desentralisasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemilikan pegawai, serta kontrol organisasi), dan pengalaman kerja (Steers dan Porter, 1983:426-427).
Menurut Amstrong (1992: 183) ada tiga hal yang dipandang dapat mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu rasa memiliki terhadap organisasi, rasa senang terhadap pekerjaan, dan kepercayaan pada organisasi. Karakteristik keluarga, faktor harapan pengembangan karir, lingkungan kerja, dan gaji/tunjangan juga turut mempengaruhi komitmen terhadap organisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanto (1997:35-36) yang mengemukakan bahwa faktor yang dapat mendukung terciptanya psychological commitment adalah: karakteristik pekerjaan, komunikasi interaktif, sistem reward, lingkungan kerja, dan sistem pengembangan sumber daya manusia.
Ringkasnya, faktor-faktor yang mendasari timbulnya komitmen para pegawai dapat berasal dari faktor-faktor eksternal (karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, gaji/tunjangan, dan lain-lain), maupun faktor internal (karakteristik pribadi, harapan pengembangan karir, rasa senang terhadap pekerjaan, kepercayaan pada organisasi, dan lain-lain).
3. Upaya Meningkatkan Komitmen Organisasi
3.1. Komitmen dari Top Management dalam Organisasi
Proses untuk memobilisasi komitmen harus dimulai pada tingkat tertinggi dari organisasi dengan kalangan dalam dari para eksekutif. Ketidakkonsistenan dan tidak adanya rasa percaya terhadap pemimpin akan mengurangi kejelasan visi dari suatu organisasi. Para pemimpin mendemonstrasikan komitmen terhadap nilai-nilai melalui perilaku mereka sendisi dan melalui cara mereka memperkuat perilaku orang lain.
Setiap pemimpin organisasi bertanggung jawab dalam memainkan peranan penting dalam menciptakan atmosfer lingkungan kerja yang mendorong setiap personel untuk berkinerja tinggi dengan komitmen organisasi yang tinggi. Mink, dkk. (1993: 161-162) mengemukakan strategi untuk menciptakan atmosfer komitmen organisasi dengan kinerja tinggi. Strategi tersebut terdiri dari 12 pilar, yaitu:
a. Pilar I: Berbagi visi, yaitu mengembangkan visi organisasi bersama-sama.
b. Pilar II: Berbagi nilai (values), yaitu mengembangkan nilai-nilai organisasi atau kelompok secara bersama-sama.
c. Pilar III: Tujuan, yaitu penentuan tujuan organisasi secara akurat, spesifik, dan dilatari oleh nilai organisasi merupakan konstituen yang penting.
d. Pilar IV: Fokus, bahwa pemimpin harus mengembangkan proses manajemen sedemikian rupa sehingga setiap anggota bertindak konsisten dan fokus pada misi kelompok dan organisasi.
e. Pilar V: Kerinduan pada produktivitas, yang berarti bahwa para pemimpin dan manajer harus secara jelas mengekspresikan bahwa mereka menilai dan mengingatkan kinerja tinggi.
f. Pilar VI: Dukungan untuk sukses, yang berarti bahwa jika mitra kerja menyadari bahwa pemimpin memfasilitasi mereka dengan instrumen, dana, peralatan, waktu, sumber daya, dan pasar untuk menjual produk, mereka akan loyal untuk bekerja keras.
g. Pilar VII: Personel kompeten, yang berarti bahwa kita harus menginginkan bahwa mitra kerja dapat bekerja dengan suskes.
h. Pilar VIII: Kerja tim, bahwa untuk memperoleh pencapaian yang besar, aliansi dan sinergi antar personel mutlak dilaksanakan melalui kerja tim.
i. Pilar IX: Pemberdayaan dan otonomi, yang mengisyaratkan bahwa setiap individu harus merasa bebas untuk berkontribusi pada pencapaian tujuan.
j. Pilar X: Kepemimpinan, bahwa pemimpin harus kondisi tersebut harus tercipta untuk mendukung pemberdayaan personel.
k. Pilar XI: Umpan balik dan penyelesaian masalah, yaitu bahwa penyampaian akurat informasi kepada personel tentang bagaimana kinerja mereka dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan.
l. Pilar XII: Imbalan, yang berarti bahwa setiap personel membutuhkan insentif baik secara sosial maupun finansial. Personel akan bekerja keras dan bersungguh hati bila usaha mereka menghasilkan apa yang mereka inginkan, butuhkan, dan bernilai.
Luthans (2002:237) mengetengahkan lima kiat sebagai penuntun berkembangnya komitmen, yaitu:
a. Menetapkan terlebih dahulu komitmen terhadap nilai,
b. Mengklarifikasi dan mengkomunikasikan misi dan ideologi,
c. Mengerti garansi organisasi,
d. Membangun sense of community agar tercipta kerja tim yang baik,
e. Mendukung proses pengembangan pegawai.
Sweeney dan McFarlin (2002:61) mengidentifikasi empat cara untuk meningkatkan komitmen organisasi, yaitu:
a. Berusaha untuk memberikan kepercayaan untuk meningkatkan loyalitas pegawai terhadap organisasi,
b. Membangun keterpaduan visi dan misi sebagai dasar nilai dan sikap sekaligus tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi,
c. Menggunakan pola kerja tim untuk meningkatkan komitmen normatif,
d. Membuat keberlangsung dan kelanggengan komitmen yang tinggi.
Berdasarkan pendapat para ahli, kiat-kiat untuk meningkatkan komitmen organisasi yang utama adalah mengembangkan visi, misi, tujuan, dan value dari organisasi, loyalitas, kepercayaan terhadap organisasi, serta sistem imbalan yang sesuai dengan kebutuhan pegawai.
3.2. Membangun Lingkungan Kerja yang Kondusif
Interaksi antara personel dan organisasi berefek pada perkembangan kultur organisasi. Ilyas (2001:57) menerangkan bahwa kultur organisasi adalah suatu tatanan aturan, interkoneksi, yang biasanya tidak tertulis yang diikuti oleh setiap individu dalam organisasi. Lebih lanjut Ilyas mengungkapkan adanya enam dimensi proses untuk dapat menciptakan ruang kerja yang produktif, yaitu:
a. Visi: Tujuan bersama dan kepemimpinan. Pemimpin harus mampu mengembangkan partisipasi sehingga tujuan bersama dapat tercapai.
b. Berbagi nilai dan kerja tim. Personel saling percaya dan saling menerima guna menegakkan tujuan bersama melalui kepercayaan dan pengertian.
c. Otonomi individual dan kebebasan. Tugas harus diselesaikan dan kompetensi personel lebih penting daripada posisi maupun jabatan.
d. Hubungan kerja positif melalui umpan balik dan pemecahan masalah.
e. Fokus manajemen. Ruang kerja produktif mendukung proses pencapaian tujuan bersama di mana manajemen membantu mengidentifikasi kendala sekaligus pemecahan masalah dalam meningkatkan produktivitas.
f. Struktur kerja. Setiap personel mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, keterampilan kerja apa yang dibutuhkan dan bagaimana mengaplikasikannya untuk menghasilkan kinerja yang tinggi.
Pada kultur organisasi yang berkinerja tinggi, setiap personel mengetahui apa yang harus dikerjakan dan mengapa mereka harus mengerjakannya secara tepat pada momen yang tepat pula. Kultur yang terbuka pada dasarnya lebih adaptif terhadap perubahan. Oleh sebab itu organisasi perlu melakukan penilaian dan penyesuaian secara terus menerus agar tetap survive dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika manajer telah memiliki manajer personel yang tepat, yang mempunyai nilai sama dan ingin mencapai tujuan bersama, maka langkah lanjut adalah memfasilitasi mereka dengan peluang dan insentif dengan lingkungan kerja yang kondusif. Dalam lingkungan kerja yang demikian mereka akan merasa diberdayakan, selanjutnya mereka akan memberikan kontribusi sebagai tim sukses yang pada akhirnya menciptakan organisasi dengan komitmen kerja.
3.3. Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Motivasi dengan Komitmen
Individu yang masuk ke suatu organisasi akan membawa kemampuannya, kepercayaan pribadi, penghargaan kebutuhan dan pengalaman masa lalunya. Organisasi merupakan suatu lingkungan yang memiliki karakteristik bagi individu. Karakteristik yang dimiliki organisasi di antaranya adalah keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang, dan tanggung jawab, sistem penggajian, sistem pengendalian, dan sebagainya.
Jika karakteristik individu berinteraksi dengan karakteristik organisasi, maka akan terbentuklah perilaku individu dalam organisasi. Nadler, dkk. (dalam Toha, 2003:34) menyebutkan bahwa perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya.
Ada tiga perilaku yang biasanya diinginkan oleh sebagian besar organisasi, yaitu perilaku keanggotaan (membership behavior), perilaku tugas/kerja, dan organizational citizenship behavior. Perilaku keanggotaan (membership behavior) terjadi ketika pegawai memutuskan untuk bergabung dan tinggal bersama sebuah perusahaan; perilaku tugas kerja (task behavior) terjadi saat pegawai melaksanakan pekerjaan atau tugs khusus yang dibebankan kepadanya; adapun organizational citizenship behavior terjadi saat pegawai dengan sukarela menunjukkan perilaku tertentu yang menguntungkan bagi organisasi. Perilaku ini melebihi perilaku keanggotaan dan perilaku kerja, seperti usaha lebih keras, kerja sama tinggi dengan sesama rekan kerja, inisiatif tinggi, kemauan melakukan inovasi, pelayanan pelanggan yang lebih baik, serta kemauan untuk berkorban demi kebaikan organisasi itu (Long, 1998:91).
Sikap didefinisikan sebagai kecenderungan yang tetap untuk merasakan atau menunjukkan reaksi dengan cara tertentu terhadap suatu objek (Luthan, 1996:108). Definisi ini persis seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli psikologi lainnya seperti Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood yang menyatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan yang mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (Azwar, 2002:5). Sedangkan Greenzberg dan Baron (1993:156) mendefinisikan sikap sebagai serangkaian perasaan, kepercayaan, dan perilaku yang relatif stabil dalam menghadapi objek abstrak maupun konkret.
Berkaitan dengan hal di atas, ada tiga kunci sikap yang harus ada, yaitu kepuasan kerja, motivasi kerja, dan identifikasi organisasi. Kepuasan kerja diidentifikasikan sebagai sikap yang dimiliki seseorang terhadap pekerjaan dan tempat kerjanya, baik secara positif maupun secara negatif.
Identifikasi organisasi terdiri dari tiga unsur yang saling terkait, yaitu perasaan, menerima tujuan dan nilai-nilai organisasi, rasa memiliki dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan organisasi. Ketiga unsur ini sering disebut sebagai komitmen organisasi (long, 1998:91). Sikap-sikap ini dapat memunculkan perilaku yang menguntungkan organisasi. Kepuasan kerja menyebabkan perilaku keanggotaan, motivasi kerja menyebabkan perilaku tugas/kerja dan identifikasi organisasi dapat memunculkan organizational citizenship behavior. Identifikasi organisasi juga mempunyai kontribusi pada dua perilaku lainnya.



Identifikasi Organisasi
Kepuasan Kerja
Sikap Pegawai
Perilaku Keanggotaan
Perilaku Pegawai

Identifikasi Organisasi
Organizational Citizenship Behavior
Motivasi
Perilaku Tugas/Kerja






Gambar 1 Pengaruh Kepuasan Kerja, Motivasi,
dan Identifikasi Organisasi terhadap Perilaku Pegawai
Sumber: Long, Ricchard J, (1998:92)
Identifikasi organisasi juga berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan motivasi pegawai karena identifikasi organisasi mempunyai dampak positif terhadap keduanya. Pegawai yang merasakan kepuasan kerja cenderung tidak berhenti dari tempat kerja, absen, atau mengeluh dan merasa lebih nyaman rekan kerja dan pelanggan (misalnya dalam sebuah perusahaan).
Pegawai yang puas juga kadang merasakan stress kerja, selanjutnya akan mengurangi kesalahan dan kecelakaan kerja, juga mengurangi masalah-masalah kesehatan yang menyebabkan ketidakhadiran. Ini merupakan outcomes komitmen organisasi, yaitu dalam bentuk hubungan positif intrapersonal maupun interpersonal sehingga mendukung kinerja organisasi, komitmen tinggi untuk loyal terhadap regulasi organisasi yang ditetapkan, angka absensi sangat rendah, turn over rendah, performan kinerja tinggi.
4. Analisis Komitmen Organisasi
Untuk mencapai tujuan organisasi diperlukan pengetahuan dan keterampilan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perilaku anggota dalam organisasi. Perilaku organisasi adalah suatu bidang organisasi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi. Hal itu dimaksudkan untuk menerapkan pengetahuan semacam itu dalam memperbaiki efektivitas organisasi (Stephen P. Robins, 1998:5). Pengetahuan ini sangat pentng karena antara individu dan organisasi keduanya memiliki peran dan tujuan. Berikut ini adalah gambar hubungan antara organisasi/lembaga dengan individu.
Dimensi Nomotetis
Sistem sosial
Sistem sosial
Sistem sosial
Peran
kepribadian
Harapan
Disposisi Kebutuhan
Perilaku yang nampak



Gambar 2. Teori Getzels
(Sumber: Sutisna, 1993:336)
Melalui gambaran di atas, tampak jelas bahwa untuk mencapai arah tujuan organisasi diperlukan sinergitas dan komitmen di antara keduanya. Komitmen merupakan beberapa unsur dari sikap seseorang atau kelompok yang diaktualisasikan dengan perilaku dalam organisasi.
Beberapa unsur sikap tersebut adalah adanya kepuasan kerja dan motivasi kerja. Hellrigel dan Slocum, Jr. (2001:54) menyatakan bahwa terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi komitmen seseorang dalam organisasi yaitu pengalaman-pengalaman kerja, kepuasan kerja, dan hal-hal yang mempengaruhi motivasi seseorang dalam bekerja. Permasalahannya adalah bagaimana menumbuhkan kepuasan kerja dan motivasi agar tetap dimiliki oleh para anggota organisasi dan terpelihara secara baik sehingga berdampak terhadap produktivitas kerja yang tinggi.
Salah satu ujung tombak kemajuan dan kemunduran suatu organisasi pada akibatnya akan bermuara pada pimpinan. Sejah mana pemimpin tersebut mampu mendistribusikan kekuasaan dan pengaruhnya dengan baik sehingga mampu mendorong produktivitas kerja bawahan. Dalam upaya membentuk rasa percaya dan dapat menjadi partner yang baik, pimpinan harus memperhatikan dimensi (1) integritas (kejujuran dan bersikap sebenarnya), (2) kemampuan (pengetahuan dan keterampilan serta antar pribadi), (3) konsisten (handal serta dapat diramalkan dan pertimbagnann yang baik dalam menangani situasi), (4) kesetiaan (setia dalam melindungi dan menyelamatkan), (5) keterbukaan (kesediaan berbagi gagasan dan informasi dengan bebas).
Pada posisi pegawai, komitmen organisasi dapat dibina mulai saat pegawai menjadi anggota organisasi. Input ini dapat dikembangkan oleh seorang pimpinan dengan mengidentifikasi sebuah visi yang masuk akal dan menarik. Visi itu harus dikomunikasikan dan diwujudkan dalam budaya organisasi tersebut. Sebuah visi harus dipindahkan secara persuasif dan inspiratif. Visi tersebut harus diulang-ulang dalam berbagai variasi dan pada berbagai tingkat kekhususan, dari sebuah mission statement yang samar-samar sampai kepada rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan yang terperinci. Visi harus diperkuat oleh keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan oleh pemimpin tersebut. Perubahan-perubahan harus dibuat dalam struktur yang organisasi dan proses-proses manajemen dan konsisten dengan nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang terdapat pada visi yang baru tersebut.
Dalam prosesnya, pimpinan harus selalu memperhatikn faktor-faktor pendukung lain yang dapat mempertahankan motivasi dari pada anggota organisasi, misalnya dengan selalu memperhatikan kultur lingkungan organisasi dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan para bawahannya. Memberikan kesempatan untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan, memberikan peluang untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan, melakukan promosi jabatan juga dapat membangun dan memelihara komitmen.
Dalam melakukan promosi, komitmen juga dapat digunakan sebagai instrumen yang dapat diukur. Indikator untuk mengukur komitmen organisasional menurut Porter dan Smith (dalam Steers dan Porter, 1983:442-443) adalah kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
Pimpinan hendaknya menjadi sponsor utama dalam upaya menciptakan komitmen untuk mencapai tujuan organisasi mengingat setiap tindakan manusia di dalam sistem manusia mempunyai pengaruh kepada orang lain di mana pun ia berada di dalam lingkungan tersebut. Berdasarkan berbagai faktor pendukung yang dapat membangun komitmen, maka diharapkan mampu membangun kepercayaan kepada pimpinan sehingga dapat diaktualisasikan sebagai outcomes komitmen organisasi.
Kesimpulan
Komitmen adalah sesuatu yang sangat penting pengaruhnya terhadap produktivitas organisasi. Komitmen yang tinggi terhadap organisasi akan terbentuk apabila pimpinan mampu mendistribusikan kekuasaannya sehingga dapat diterima dan dipandang sebagai sesuatu yang dapat mendorong untuk terciptanya komitmen yang tinggi dari seluruh personel organisasi. Pimpinan yang memahami kompleksitas atau keanekaragaman kemampuan, sikap, serta perilaku dari personel organisasi akan dapat menjalankan strateginya dalam mempengaruhi bawahannya.
Terdapat tiga pendekatan untuk mempelajari perilaku kinerja personel, yaitu (1) pendakatan karakteristik bawahan personel (trait view), (2) pendekatan pandangan perilaku, (3) kombinasi kedua pendekatan tersebut secara lebih holistik atau menjadi paradigma. Interaksi antara personel dan organisasi (visi, misi, nilai, tujuan sistem, dan proses) akan berefek kepada perkembangan kultur organisasi. Komitmen organisasi merupakan instrumen penting untuk menilai personel, sebagai dasar untuk melakukan mutasi, promosi, pelatihan yang dibutuhkan, dan kompensasi yang adil bagi personel. Komitmen organisasi yang berkarakteristik kinerja tinggi diperlukan karena:
a. Manajemen haruus bertanggung jawab atas keberhasilan seluruh sistem
b. Komitmen organisasi akan mendukung penampilan prestasi kerja itu sendiri bila dikerjakan secara objektif dan tujuan komitmen organisasi adalah untuk meningkatkan produktivitas individu dan organisasi.
c. Personel pada dasarnya mengetahui bagaimana pengaruh komitmen organisasi terhadap seluruh sistem dan dimensi dalam organisasinya.

Daftar Pustaka
Blanchard, Kand S Johnson. (1982). The One-Minute Manajer. New York: Morrow.
Blummer, H. (1969). Symmbolic Interactionism: Perspective and methods. Eaglewood Cliff: Prentice Hall.
Baron, R.A. dan Greenberg, J. (1990). Behavior in Organization 3rd Edition. Understanding and Managing the Human Side of Work.
Dessler, Garry. (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Prehallindo .
Garfield, C. (1989). Peak Performance. New York: Warner Book.
Luthans, Fred. (2002). Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Company.
Laka-Mathebula, M.R. (2004). Modelling the Relationship Between Organizational Commitment Leadership Style, Human Resource management Practices and Organizational Trust. Faculty of Economic and Management Science: University of Pretoria.
Long, Ricchard J. (1998). Compensation in Canada: Strategy. Canada: Practise and Issue International Thomson Publishing (ITP Nelson).
Mink, Oscar G, Owen, Krrth Q, Barbara. (1993). Developing High Performance Perole. Massachussets: Wesley Publishing Company.
Robbins, Stephen. (2001). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Prehallindo.
Slocum, Jr. dan Hellriegel, D. (2001). Organizational Behavior 3rd Edition. USA: South Western College Publishing.
Steers, R.M. (1988). Motivation and Work Behavior 3rd Edition. USA: McGraw-Hill Book Company.
Susanto, A.B. (2002). Manajemen Aktual. Jakarta: PT. Grasindo.
Sutisna, O. (1993). Administrasi Pendidikan. Bandung: Angkasa.
Sweeney, Paul D. & McFarlin. (2002). Organizational behavior: Solutions for Management. New York: McGraw-Hill Company.


Riwayat Penulis:
Dr. Tita Meirina Djuwita, Dra., M.Si. adalah dosen Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan Banten yang diperbantukan pada Universitas Nurtanio Bandung.

Kamis, 15 Mei 2008

Motif Berprestasi

Motif Berprestasi dan Produktivitas Kerja Pegawai

Oleh: Dr. Tita Meirina Djuwita, Dra., M.Si.

Abstrak



Pegawai yang mempunyai motif berprestasi selalu berusaha untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dibanding dengan pegawai lain dan berusaha melampaui standar keunggulan yang diterapkan. Selain itu pegawai yang memiliki motif berprestasi yang tinggi senantiasa mempunyai dorongan untuk belajat gigih guna mencapai prestasi kerja istimewa (standard of exelent). Hubungan antara motif berprestasi dan produktivitas kerja sangatlah berkaitan erat sebab dorongan motif berprestasi yang tinggi dapat mendorong pegawai untuk berupaya meningkatkan produktivitas kerjanya.

A. Pendahuluan
Pengalaman atau kegagalan akan mempengaruhi affective state seseorang. Individu yang mengalami keberhasilan dalam mengerjakan tugas akan berusaha untuk kembali memperoleh keberhasilan pada tugas berikutnya dan begitu pula sebaliknya, individu yang mengalami kegagalan akan kembali mengulang kegagalan tersebut dalam pekerjaan selanjutnya (McClelland, 1953:157-158). Dengan kata lain sebuah pengalaman akan mempengaruhi kekuatan motif berprestasi seseorang.
Motif berprestasi muncul ketika individu menyadari bahwa tindakannya akan dinilai. Adapun dalam bertingkah laku, individu dihadapkan pada tantangan di mana individu akan menilai kemampuan sendiri dalam menghadapi tantangan tersebut dan akan memperkirakan keberhasilan atau kegagalan yang akan diraihnya. Pada dasarnya individu akan cenderung untuk melakukan tingkah laku yang menimbulkan rasa aman dan menghindari rasa tidak aman yang dapat menimbulkan rasa cemas.
Seseorang yang mempunyai motif berprestasi tinggi akan menyukai tantangan dan lebih berani menganggapi tindakan yang akan diambilnya berhasil daripada seseorang yang motif berprestasinya rendah. Dengan demikin dapat dikatakan bahwa individu yang mempunyai motif berprestasi tinggi menyukai kesenangan dalam berprestasi dan lebih berani dalam mengambil resiko dalam tingkah lakunya.
Motif berprestasi merupakan dorongan untuk menggapai prestasi yang berkaitan dengan standar keunggulan yang telah dievaluasi. Individu yang memiliki motivasi untuk berprestasi dan menampilkan perilaku untuk mencapai prestasi berkeinginan untuk unggul atas dirinya sendiri dan orang lain. Hal tersebut berarti bahwa ia ingin melakukan sesuatu yang lebih baik daripada yang telah ia kerjakan sebelumnya atau lebih baik daripada orang lain. Motif berprestasi berarti upaya untuk berkompetensi dengan suatu standar. Dengan demikian motif berprestasi diharapkan termanifestasi dalam perilaku untuk berprestasi.
Individu yang didominasi oleh motif berprestasi dapat menggunakan waktunya untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugasnya, memikirkan berbagai usaha untuk meningkatkan prestasi kerja atau kemajuan kariernya dengan tidak hanya memikirkan tujuannya dalam berprestasi, melainkan juga memikirkan bagaimana tujuannya itu dapat tercapai, hambatan apa yang mungkin terjadi, dan bagaimana perasaannya jika gagal ataupun berhasil. Ia akan lebih berorientasi pada tugas, menyukai tugas-tugas yang memiliki tantangan, lebih percaya diri, serta tidak bergantung pada orang lain. Motif berprestasi dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan individu dalam pekerjaannya. Motif berprestasi ini dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan individu dalam hal prestasi belajar di sekolah, pekerjaan, atau di dalam kompetisi olah raga.
Individu yang memiliki motif berprestasi tinggi akan menampilkan karakteristik tingkah laku sebagai berikut:
1. Dalam menentukan tujuan prestasinya, ia lebih menyukai pekerjaan yang menantang keahlian dan kemampuannya, serta mamilih pekerjaan dalam situasi yang mengandung resiko sedang (moderate risk), artinya ada tantangan namun masih bisa diatasi.
2. Berusaha memperoleh umpan balik atas perbuatan yang dilakukannya.
3. Menyukai memperoleh pekerjaan yang menuntut tanggung jawab pribadi dalam mencapai tujuannya
Motif berprestasi merupakan satu di antara tiga motif sosial yang mendasari tingkah laku individu dalam mencapai tujuan yakni di samping motif afiliasi dan motif untuk berkuasa. Motivasi ini berasal dari dalam maupun dari luar diri individu yang mendorong peningkatan produktivitas kerjanya sesuai standar yang ditetapkan. Motivasi ini dapat dipelajari dalam hubungan seseorang dengan orang lain di dalam berbagai situasi dan perilaku standar-standar keunggulan. Dalam situasi yang menuntut prestasi, individu akan terdorong untuk menunjukkan tingkah laku tertentu atau berusaha keras untuk mencapai prestasi yang memenuhi standar keunggulan. Keberhasilan individu dalam mencapai tujuan akan semakin meningkatkan motivasinya untuk berprestasi.

B. Pengertian motivasi
Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi merupakan suatu proses psikologi yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Motivasi timbul karena adanya motif dalam diri seseorang. Motif merupakan daya pendorong keinginan, kebutuhan, dan kemauan yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan berbuat dengan tujuan tertentu. Harsey et al (1986:27) mengemukakan: “motives are sometimes defined as needs, wants, drives or impulse within the individual”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif adalah suatu dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan atau tingkah laku dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sementara itu Berelson dan Steiner dalam Koontz, dkk. (1996:115) mengemukakan sebagai berikut:
Motif sebagai suatu keadaan di dalam diri seseorang (inner state) yang mendorong, mengakibatkan, atau menggerakkan (karena adanya ‘motivasi’), dan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan. Dengan perkataan lain ‘motivasi’ adalah istilah umum yang mencakup keseluruhan golongan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis.
Uraian tersebut mengisyaratkan adanya hubungan yang sangat erat antara motif dan motivasi. Motif merupakan dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja pegawai, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan organiasi.
Motivating yang diterjemahkan menjadi pemotivasian merupakan salah satu fungsi manajemen. Fungsi manajemen yang dapat disetarakan dengan pemotivasian adalah actuating (penggerakkan), commanding (pemberian komando), dan directing (pemberian bimbingan). John F. Mee dan Siagian adalah dua ahli yang memasukkan istilah motivating (pemotivasian) ke dalam fungsi manajemen. Siagian (1997:129) memberi beberapa alasan atau pertimbangan sebagai berikut:
1. Motivating secara implisit berarti bahwa pimpinan organiasi berada di tengah-tengah para bawahannya dan dengan demikian dapat memberikan bimbingan dan instruksi, nasihat dan koreksi jika diperlukan. Dengan demikian pemimpin yang menjalankan fungsi motivating tidak hanya akan memerintah dan menempatkan diri terlalu jauh di atas bawahan (commanding), tidak mengesankan diri berada di samping bawahan namun tidak terlibat secara langsung (directing), tidak juga hanya mendorong dari belakang (actuating).
2. Secara implisit istilah motivating telah mencakup adanya usaha untuk mensinkronisasikan tujuan organiasi dan tujuan-tujuan pribadi dari para anggota organiasi.
3. Secara eksplisit dalam pengertian ini juga jelas terlihat bahwa para pelaksana operatif dalam memberikan motivasi sangat memerlukan berbagai stimulus.
Dengan demikian melalui pemotivasian diharapkan seorang pemimpin dapat memilih cara terbaik untuk mengusahakan agar bawahannya selalu berprestasi secara optimal untuk kepentingan organiasi.
Motivasi berprestasi berarti “...doing something well or doing something better than it had been done before, more efficiently, more quickly with labor, with a better result” (McClelland, 1953:116). Berdasarkan definisi tersebut individu yang memiliki motif berprestasi mau berbuat lebih baik dari orang lain atau mengerjakan sesuatu secara lebih baik daripada yang sebelumnya. Dalam rumusan lain yang lebih singkat McClelland (1953:111) mengatakan bahwa motif berprestasi berarti keinginan untuk bersaing untuk mencapai keberhasilan dengan beberapa standar keunggulan.
Clifford T. Morgan (1986:282) mengemukakan bahwa motif berprestasi adalah motif untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit untuk menyaingin dan mengungguli orang lain. Roger dalam Surya (1957) mendefinisikan motif berprestasi sebagai “... a social that emhasize a desire for exellence in order for an individual to attain of personal accomlishment”.
Menurut Newstrom dan Davis (1993:123), achievement motivation is a drive some people have to persue and attain good. An individual with this drive wishes to achieve objective and advance up the ladder of success”.
Dengan memperhatikan berbagai definisi di atas, dapat ditarik pengertian umum motif berprestasi yaitu sebagai “suatu dorongan untuk mengerjakan sesuatu dengan baik atau lebih baik sebelumnya untuk mencapai kesuksesan dalam kompetisi dengan beberapa standar keunggulan baik internal maupun eksternal”.

C. Konsep tentang Motif Berprestasi
Konsep motif berprestasi diperkenalkan dan dipopulerkan pertama kali oleh McClelland melalui hasil penelitiannya dengan istilah “n-Ach” yang merupakan singkatan dari need of achievement. Penelitian tersebut bertitik tolak dari pertanyaan mengapa suatu bangsa lebih maju daripada bangsa lainnya, atau mengapa suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu lebih maju dibandingkan dengan kurun waktu lainnya? Hasil penelitian McClelland menunjukkan bahwa kemajuan tersebut disebabkan adanya “a certain of thinking that was relatively rare but which, when is occurred in an individual, tended to him behave in a particularly energy way”. McClelland berpendapat bahwa motif berprestasilah yang membuat para industriawan dan pelaku bisnis lainnya menjadi lebih kompetitif bekerja dan lebih tekun.
Individu memiliki berbagai macam kebutuhan. Prioritas pemenuhan kebutuhan bergantung pada kekuatan kebutuhan tersebut dan rangsangan dari luar. Kebutuhan ini akan membangkitkan suatu dorongan yang mengerahkan individu untuk berusaha untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuatan yang menggerakkan dan mengarahkan tingkah laku individu untuk mencapai tujuan itulah yang disebut “motif”.
Clifford T. Morgan (1961) dalam Harding (1999:8) mengatakan, motif adalah sesuatu yang menggerakkan atau memacu orang bertingkah laku. Motif kadang-kadang didefinisikan sebagai needs (kebutuhan), keinginan, drives (dorongan), atau impuls dari individu. Motif menyebabkan dan memelihara tingkah laku individu serta diarahkan pada tujuan, baik yang disadari maupun tidak. Motif membantu terjadinya kegiatan untuk memuaskan kebutuhan (Hersey dan Blanchard, 1977; dalam Harding :1999:5).
McClelland (1953) dalam Wismaningsih (1993:33) mendefinisikan motif sebagai “a recurrent concern for a goal state based on a natural incentive a concern that energizes, orient, and selects behavior.”
Pengertian motif berhubungan dengan perhatian yang dicurahkan seseorang pada suatu tujuan yang bersumber pada insentif. Perhatian tersebut dapat dipelajari melalui hubungan seseorang dengan orang lain di dalam berbagai situasi dan perilaku yang meliputi standar-standar keunggulan. Adapun perilaku untuk berprestasi seseorang juga dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam mencapai tujuan.
Dengan demikian seseorang yang memiliki motif prestasi menurut pendapat McClelland (1953) akan menampakkan ciri-ciri tingkah laku sebagai berikut: (1) mela-kukan aktivitas untuk berprestasi sebaik-baiknya, (2) mengadakan antisipasi terencana untuk keberhasilan pelaksanaan tugasnya, (3) melakukan kegiatan secara kreatif dan inovatif yaitu dengan berusaha mencari cara-cara baru dalam memenuhi rasa ingin tahunya, (4) berusaha sekuat kemampuannya dalam mencapai cita-cita dengan belajar keras, tekun, dan ulet, (5) tidak takut gagal, berani mengambil resiko dan mempertimbangkan kemampuannya, serta cenderung memilih tugas dengan tingkat kesulitan moderat namun menantang keahlian dan kemampuannya, (6) mempunyai tanggung jawab personal yang berarti ia merasa bertanggung jawab secara pribadi dalam mencapai tujuannya serta berusaha sekuat kemampuannya untuk menyelesaikan tugas yang dihadapinya, (7) berusaha melakukan kegiatan yang melampaui standar keunggulan internal maupun eksternal dan memperhatikan umpan balik dan perbuatan.

AH

D. Teori Produktivitas Kerja
Konsep produktivitas dikembangkan untuk mengukur besarnya kemampuan menghasilkan nilai tambah atas komponen masukan yang digunakan (Cahyono, 1996:281). Secara umum yang dimaksud dengan produktivitas kerja adalah rasio antara output terhadap input. Dengan demikian rumus dasar yang tetap digunakan adalah:

Produktivitas
=
Keluaran
Masukan
Definisi Dewan Produktivitas Nasional Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia dalam kaitannya dengan produktivitas tenaga kerja adalah sebagai berikut:
Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian yang berbeda. Peningkatan produksi menunjukkan pertambahan jumlah hasil yang dipakai, sedangkan peningkatan produktivitas mengandung pengertian pertambahan dan perbaikan cara produksi. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas karena produksi dapat meningkat walaupun produktivitasnya tetap ataupun menurun.
Pengertian produktivitas di atas menguraikan peningkatan produksi maupun peningkatan produktivitas pada dasarnya adalah pemanfaatan peran utama sumber daya manusia dalam proses peningkatan produktivitas, bagaimana pun produksi dan teknologi pada hakekatnya merupakan hasil karya manusia.
Dengan demikian peningkatan produktivitas dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Jumlah produksi meningkat menggunakan sumber daya yang sama.
2. jumlah produksi yang sama atau meningkat dicapai dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit.
3. jumlah produksi yang jauh lebih besar diperoleh dengan pertambahan sumber daya yang relatif lebih kecil.
Adapun pengertian produktivitas kerja menurut Handari (1990:97) adalah:
Produktivitas kerja adalah perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh (output)dengan jumlah sumber daya yang dipergunakan (input). Produktivitas kerja dinyatakan tinggi jika hasil yang diperoleh lebih besar daripada sumber kerja yang digunakan. Sebaliknya produktivitas kerja dinyatakan rendah jika hasil yang diperoleh lebih kecil daripada sumber kerja yang digunakan.
Dari pengertian tersebut, produktivitas berarti perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja terhadap hasil kerja dalam organiasi yang merupakan perwujudan tujuan-tujuannya. Adapun hasil kerja tersebut bisa bersifat material maupun non-material. Dengan demikian produktivitas kerja digambarkan melalui tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan organiasi.
Dari uraian tersebut, secara sederhana produktivitas adalah perbndingan secara ilmu hitung antara jumlah yang dihasilkan dengan jumlah sumber daya yang dipergunakan selama produksi berlangsung. Produktivitas kerja sangat berkaitan antara lain dengan satuan waktu, teknologi, proses manajemen (perencanaan, pengorganisasi-an, penggerakan, pengawasan) maupun disiplin kerja.
Produktivitas di dalam piagam produktivitas Oslo tahun 1984 (dalam Ravianto, 1998:1.3) dijelaskan sebagai berikut:
“produktivitas adalah konsep yang universal, dimaksudkan untuk menyediakan semakin banyak barang dan jasa untuk kebutuhan semakin banyak og dengan menggunakan sedikit mungkin sumber daya.”
Produktivitas didasarkan pada pendekatan multidisiplin yang secara efektif merumuskan tujuan, rencana, pengembangan, dan daya pelaksanaan cara-cara produktif, dengan menggunakan sumber-sumber daya secara efisien namun tetap mempertahankan kualitas. Produktivitas kerja secara terpadu melibatkan semua usaha manusia dengan menggunakan keterampilan modal, teknologi manajemen, informasi, energi, dan sumber daya lainnya untuk perbaikan mutu kehidupan bagi seluruh manusia. Produktivitas kerja pada dasarnya merupakan hasil interaksi lingkungan, baik lingkungan pekerjaan maupun lingkungan di luar pekerjaan termasuk lingkungan fisik, lingkungan sosial, budaya, dan lingkungan psikologis (Handari, 1990:97). Produktivitas kerja yang tinggi ditentukan oleh unjuk kerja yang tinggi. Sedangkan unjuk kerja yang tinggi bergantung pada motivasi kerja dan proses manajemen, adapun motivasi kerja pegawai ditentukan oleh kondisi dan kebutuhan-kebutuhannya. Produktivitas kerja pegawai ditentukan oleh faktor kualitas sumber daya manusia, lingkungan kerja, proses manajemen, serta nilai-nilai yang berkembang pada suatu organiasi.
Ddua hal yang sangat ditekankan dalam sebuah organiasi adalah efektivitas dan efisiensi. Kedua hal tersebut sangat ditentukan oleh sumber daya manusia. Sumber daya manusia bukan lagi hanya sebatas alat produksi bagi sebuah organiasi, melainkan sebagai aset yang harus senantiasa dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya. Di antara upaya untuk meningkatkan nilai sumber daya manusia adalah melalui upaya menciptakan lingkungan kerja yang kondusif untuk berprestasi.
Produktivitas organiasi ditentukan oleh pengembangan teknologi dan usaha kerja serta kualitas hasil kerja pegawai. Manusia adalah faktor terpenting dalam proses produksi. Produktivitas dapat diukur dengan berbagai cara yaitu:
- Produksi volume / kuantitas yang dihasilkan,
- Standar kualitas kerja,
- Angka kehadiran / kemangkiran,
- Ukuran yang ditunjukkan oleh jangka waktu seperti promosi jabatan,
- Ukuran karakteristik atau kepribadian yang terlihat.
E. Pembahasan
Motif berprestasi merupakan penggerak utama yang bersumber di dalam maupun di luar diri pegawai yang mendorong untuk berbuat dan memperlihatkan tingkat performance dari produktivitas sesuai dengan standar yang ditetapkan di dalam pekerjaan tersebut. Individu yang memiliki motof berprestasi tinggi lebih memiliki orientasi ke depan, realistis, dan sering merasa takut gagal dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, penuh inisiatif, dan berusaha untuk mengembangkan kreativitas.
Individu yang memiliki motif berprestasi selalu dapat menggunakan waktunya untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugasnya, memikirkan untuk meningkatkan prestasi kerjanya, lebih berorientasi pada tugas, dan lebih menyukai tugas yang memberikan tantangan.
Sumber daya manusia tidak dengan sendirinya menjadi sumber keunggulan bersaing yang sinambung bagi suatu organiasi. Hal tersebut sangat bergantung pada kadar kualitas sumber daya manusia yang dimiliki organiasi serta strategi manajemen personal yang diterapkan. Kierja pegawai yang sesuai bahkan melebihi standar produktivitas pegawai akan menjadi sumber keunggulan bersaing bagi suatu organiasi atau lembaga. Untuk menghasilkan kinerja seperti itu, setiap pegawai perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, kondisi fisik dan mental yang menjadi tuntutan jabatannya, dukungan lingkungan organiasi yang menimbulkan kepuasan kerja bagi yang bersangkutan, serta karakteristik individu itu sendiri.produktivitas kerja dapat pula diartikan sebagai sikap mental yang selalu memiliki pandangan bahwa prestasi kerja hari ini harus lebih baik daripada hasil pekerjaan kemarin dan hasil pekerjaan yang dicapai esok harus lebih baik dari hari ini.
Menurut Ranfil profil pegawai yang produktif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Timpe;1992);
Lebih memenuhi kualifikasi pekerjaan, dengan karakteristik cerdas dan dapat belajar dengan cepat, kreatif dan inovatif, memahami pekerjaan, bekerja dengan cerdik, selalu melakukan pernaikan, dianggap bernilai oleh pengawas / atasannya, selalu meningkatkan diri.
Bermotivasi tinggi, dengan karakteristik dapat memotivasi diri sendiri, mengambil inisiatif, memiliki komitmen yang tinggi, tekun, mempunyai kemampuan yang kerja untuk bekerja, bekerja efektif dengan maupun tanpa pengawasan, melihat hal-hal yang harus dikerjakan dan mengambul tindakan yang perlu, menyukai tantangan, ingin menguji kemampuan, menyukai pencarian pemecahan masalah, selalu ingin bertanya, memikirkan perbaikan sesuatu, berorientasi pada sasaran, selalu tepat waktu, tingkat energi tinggi, dan mengarahkan energi secara efektif, serta selalu merasa puas jika melakukan pekerjaan yang baik.
Memiliki orientasi pekerjaan yang positif, dengan karakeristik menyukai kebiasaan kerja yang baik, selalu terklibat dalam pekerjaannya, cermat dan dapat dipercaya, konsisten, menghormati manajemen dan tujuannya, mempunyai hubungan yang baik dengan manajemen, dapat menerima pengarahan, luwes dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan.
Dewasa, dalam pengertian pegawai memperlihatkan kinerja yang konsisten dan memerlukan pengawasan minimal. Karakteristiknya adalah berintegrasi tinggi (bersikap apa adanya, jujur, dan tulus), memiliki tanggung jawab yang tinggi, mengetahui kelemahan dan kekuatan diri, mandiri, percaya diri, berdisiplin diri, pantas memperoleh harga diri, bergaul efektif dengan lingkungan, mantap emosional dan percaya diri, bekerja efektif di bawah tekanan, dapat bekerja dari pengalaman, serta memiliki ambisi yang sehat.
Dapat bergaul dengan efektif, yakni memiliki kemampuan memantapkan hubungan antar pribadi secara positif. Karakteristiknya adalah memperagakan kecerdasan sosial, dapat diterima dan bergaul dengan atasan atau teman sejawat sebagai orang yang menyenangkan, berkomunikasi dengan efektif jelas, cermat, bekerja sama, memiliki berbagai gagasan, mau membantu teman sejawat, bekerja produktif, serta memperagakan sikap positif dan antusiasme.
Dengan berbagai karakteristik di atas, organiasi dapat mengukur produktivitas kerja pegawai sehingga diperoleh gambaran mengenai usaha yang perlu dilakukan untuk dapat mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Produktivitas kerja merupakan interaksi antara kemampuan kerja dan motivasi. Kemampuan kerja dibentuk dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, pelatihan, dan keinginan, sedangakn keterampilan dipengaruhi oleh bakat, kecerdasan, dan kepribadian. Motivasi kerja dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan kerja, kondisi sosial lingkungan kerja, dan terpenuhinya kepuasan kebutuhan dasar individu.
Dalam bertingkah laku, individu dihadapkan pada tantangan. Individu akan menilai kemampuannya sendiri dalam menghadapi tantangan tersebut dan akan memperkirakan keberhasilan atau kegagalan yang akan diraihnya. Individu yang memiliki motif berprestasi yang kuat akan mampu melakukan tugasnya dengan baik shg mereka belajar bagaimana untuk bekerja lebih baik dalam mengerjakan tugasnya.
Situasi dan tingkah laku berprestasi digerakkan oleh motif berprestasi. Motif inilah yang mengarahkan, menentukan, dan mempertahankan arah tindakan yang lebih ditetapkan, yang memiliki motivasi tinggi akan senantiasa berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugasnya serta meningkatkan prestasi dan produktivitas kerjanya.
F. Kesimpulan
1. Motif berprestasi merupakan satu di antara tiga motif sosial yang mendasari tingkah laku individu dalam mencapai tujuan yakni di samping motif afiliasi dan motif untuk berkuasa. Motivasi ini dapat dipelajari dalam hubungan seseorang dengan orang lain di dalam berbagai situasi dan perilaku standar-sandar keunggulan. Dalam situasi yang menuntut prestasi, individu akan terdorong untuk menunjukkan tingkah laku tertentu atau berusaha keras untuk mencapai prestasi yang memenuhi standar keunggulan. Keberhasilan individu dalam mencapai tujuan akan semakin meningkatkan motivasinya untuk berprestasi.
2. Para pegawai yang didominasi oleh motif berprestasi selalu berusaha melakukan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan orang lain, berusaha menggunakan melampaui standar keunggulan yang telah ditetapkan. Ia dapat menggunakan waktunya untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugasnya, memikirkan usaha-usaha untuk meningkatkan prestasi kerjanya atau kemajuan kariernya. Ia akan lebih berorientasi pada tugas, menyukai tugas-tugas yang memiliki tantangan, lebih percaya diri, serta tidak bergantung pada orang lain. Motif berprestasi dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan individu dalam pekerjaannya.
3. Motif berprestasi yang merujuk pada nilai pendorong atau daya individu dalam perilaku guna mencapai pelaksanaan tugas sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
_____________. 1997. Filsafat Administrasi. Jakarta: PT. Gunung Agung.
Cahyono, Bambang Tri. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: IPWI
Davis, Keith and John W. Newstroom. 1993. Human Behavior at Work. New York: Mc Graw Hill Book, Company.
Harding, Diana. 1999. Motivasi Kerja. Makalah, Bandung: Fakultas Psikologi UNPAD.
Hersey, Paul, Kenneth H. Blanchard. 1980. Management of Organizational behavior.
Koonts, Harold et. al. 1996. Manajemen. Jakarta: Erlangga.
Matsui, T. et. al. 1982. Influence of Achievcement Need on Goal Setting, Performance and Feedback Effectiveness. Journal of Applied Psychology No. 67, 1982.
McClelland, David. et. al. 1953. The Achievement Motive. New York, Applention Century Croffs.
Mitcheil, T.R. (ed). 1982. People in Organization: An Introduction to organizational Behavior. Tokyo: McGraw Hill.
Ravianto, J. 1985. Produktivitas dan Manajemen. Dewan Produktivitas Nasional.
Robbin, Stephen P. 1993. Organizational Behavior, Concept, contoversies and Application. Bandung: Ilham Jaya.
Sedarmayanti. 1995. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Ilham Jaya.
Siagian, Sondang P. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Surya, M. 1975. Bimbingan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: CV. Ilmu.
Timpe, A. Dale (ed). 1992. The Art and Science of Business Management: Productivity. New York: New Publishing.

Riwayat Penulis:
Dr. Tita Meirina Djuwita, Dra., M.Si., adalah dosen Kopertis IV dpk Universitas Nurtanio.

Sabtu, 26 April 2008

KETERKAITAN MODERNISASI
DAN PENGEMBANGAN BUDAYA NASIONAL


Oleh : Dr. Tita Meirina Djuwita, M.Si


Abstraksi

Modernisasi dapat diartikan sebagai suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat.
Modernisasi sebagai kekuatan yang menentukan dalam pembangunan bangsa harus diintegrasikan dalam konteks pembangunan secara menyeluruh dan berkelanjutan yang terkait dengan aspek kebudayaan. Adapun posisi modernisasi dalam perspektif budaya nasional adalah bersifat menentukan dalam pembangunan bangsa.
Budaya nasional memandang modernisai sebagai proses transformasi nilai pada suatu bangsa. Oleh sebab itu penerapannya dan pemanfaatannya harus diarahkan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

A. Pengertian Modernisasi dan Budaya Nasional
Semua bangsa didunia terlibat dalam proses modernisasi. Dalam arti yang sempit, modernisasi dalam suatu masyarakat ditandai dengan pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional kecera-cara modern. Manifestasi pengertian ini, diwujudkan di Inggris pada abad ke 18 yang disebut dengan revolusi industri. Akan tetapi revolusi industri merupakansuatu bagian saja dari suatu proses yang lebih luas, dimana modernisasi diartikan sebagai suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya. Dalam pengertian ini terkandung adanya penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas atau kepada semua aspek kehidupan masyarakat. Transfomasi pengetahuan merupakan faktor terpenting dalam proses modernisasi bertolak dari gagasan bahwa masyarakat itu lebih kurang modern, apabila lebih atau kurang menerapkan pengetahuan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam hal ini tidak menyangkut hanya pengetahuan teknik atau ekonomi semata, melainkan mencakup semua aktiitas masyarakat (schoorl, 1988 : 1-4). Pengertian modernisasi ini juga mencakup aspek budaya secara luas, dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan kompleks yang secara material menyangkut aspek-aspek ekonmi, politik, sosial dan pandangan hidup, atau meliputi unsur-unsur universal yaitu bahasan, sistem teknologi, sistem mata pencaharian organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Seluruh unsur itu disebut Tylor sebagai kebudayaan, sejauh secara formal merupakan ekspresi kehidupan manusia (Poespwardjojo, 1989: 64-65). Pengertian kebudayaan dalam konteks modernisasi dapat juga diartikan sebagai realisasi kemampuan-kemampuan manusia yaitu sebagai pengembangan segala bakat, kemungkinan, dan kekuatan kodrat, terutaam kodfrat dalam diri manusia dibawah pembinaan akal budi. Dalam hal ini, kebudayaan terwujud dalam proses belajar selama hidup atau dengan kata lain kebudayaan terlihat dalam dinamika serta proses realisasinya menuju kedewasaan manusai (Zoetmulder dalam Poespowardojo, 1989: 64).
Kebudayaan dalam visi modernisasi juga dapat diartikan sebagai suatu strategi, dalam arti suatu proses yang perlu dikelola dan diarahkan. Disini manusia secara sadar mencoba mencapuri perkembangan kebudayaan agar berjalan sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bermakna dan baik. Artinya kebudayaan adalah penilaian terhadap proses perkembangannya sendiri dengan membuka jalan baru, menjalankan pembaharuan, dan perbaikan kehidupan masyarakat. Disini kebudayaan bukanlah sekedar rangkaian peristiwa sejarah, melainkan juga merupakan bentuk-bentuk jawaban yang sadar terhadap masalah dan tantangan jaman (Van Peursen dalam Poespowardojo, 1989 : 64-65).
Ketiga pengertian kebudayaan dalam konteks modernisasi yang telah dikemukakan tidaklah harus dianggap sebagai alternatif yang harus dipilih secara terpisah, meainkan tiga aspek atau fungsi kebudayaan yang relevan untuk diperhatikan dalam membahas dampak modernisasi dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa secara luas, dimana setiap kebudayaan terwujud dan berkembang dalam kondisi tertentu. Adapun pengertian kebudayaan nasional pada hakikatnya berkaitan dengan eksistensi kita sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu, secara material kebudayaan nasional menunjukkan pertemuan bentuk budaya diantara masyarakat yang majemuk dan heterogen, yang menjadi modal dasar serta tumpuan budaya bangsa secara bersama. Namun secara formal kebudayaan nasional berfungsi untuk menjaga kelestarian, eksistensi bangsa dengan menumbuhkan identitas, mendorong dan memelihara integritas nasional, serta memberikan dinamika kehidupan bangsa. Dengan memperhatikan ketiga fungsi ini, kebudayaan nasional sudah seharusnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan kebijaksanaan modernisasi dalam pembangunan bangda dan juga termasuk proses pelaksanaannya (Poespowardojo, 1989:65).
Ikhtisar Kroeber dan Kluckhon menunjukkan bagaimana banyak segi dan unsur dari pengertian kebudayaan yang tak bisa terlepas dari pengaruh modernisasi. Tak dapat ditolak bahwa dalam kebudayaan ada fungsi normatif, bahwa kebudayaan terjadi dari berbagai unsur, bahwa kebudayaan itu warisan sosial, dan bahwa kebudayaan itu adalah hasil kelakukan manusia (Alisjahbana, 1985:208) yang dinamis dalam menjawab dan menyelesaikan kebutuhan dan permasalahan jaman yang terus berubah. Dengan kata lain, zaman yang terus mengalami proses transformasi dari satu era sebelumnya ke era selanjutnya.

B. Persepsi Budaya Terhadap Modernisasi
Modernisasi merupakan usaha suatu bangsa melakukan proses transformasi dalam seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Dalam pengertian ini hakekat yang bermakna adalah transformasi nilai, dimana nilai adalah sesuatu yang dipandang berharga oleh manusia sebagai individu atau masyarakat serta dijadikan acuan tindakan maupun pengaruh arah hidup (Sutrisno, 1977).
Persepsi budaya terhadap modernisasi pada hakekatnya adalah menjawab pertanyaan dasar pada proses tranformasi nilai, yaitu dimana nilai itu ditumbuhkan dan dibatinkan? Jawabannya terletak peda kebudayaan yang dihayati sebagai jagat makna hidup dan diwacanakan serta dihayati dalam jagat simbol.
Sebenarnya modernisasi yang selalau terkait dengan proses transformasi nilai dalam segala aspek kehidupan manusia selalu dikaitkan dengan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, modernisasi adalah penerapan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, modernisasi hany akan berkembang sejauh didukung oleh sikap-sikap budaya yang mampu memberikan kondisi yang mengimbanginya. Artinya seuatu proses modernisasi memerlukan proses penyesuaian budaya.
Secara historis, awal modernisasi di Indonesia sejak jaman penjajahan dengan tujuan untuk memperkuat sistem penjajahan itu sendiri. Proses ini berjalan terus sampai bangkitnya reaksi kelompok intelektual yang mulai mengungkapkan pandangan dan wawasannnya dalam polemik kebudayaan sekitar tahun 1930-an (Poeswardojo, 1989: 66).
Polemik kebudayaan pada hakekatnya menunjukkan kesadaran bahwa kemajuan bangsa dimasa depan menuntut sikap-sikap budaya baru secara mendasar. Terdapat dua pendapat yang berbeda polemik kebudayaan. Pendapat pertama menyatakan bahwa kebudayaan nasional sebaiknya merupakan ciptaan baru yang berorientasi pada kebudayaan barat (pendapat S. Takdir alisyahbana sebaliknya pendapat kedua (KH. Dewantara) beranggapan bahwa kebudayaan nasional seharusnya berakar pada kebudayaan masa lalu, yaitu kebudayaan suku-suku di bangsa di daerah (Koentjaraningrat, 1982:354). Dari perbedaan pendapat dalam polemik kebudayaan ini, terlihat bahwa persepsi kebudayaan nasional terhadap modernisasi merupakan pencarian jawaban pada pendapat mana kebudayaan nasional harus dominan: Barat atau Timur?
Pencarian jawaban yang dihadapkan pada pilihan dualistik mencerminkan seakan-akan ada anggapan bahwa kebudayan Timur menghambat kemajauan, sedangkan masuknya kebudayaan Barat akan merusak kebudayaan Timur. Dalam kesempatan jawaban ini, sebenarnya perspektif budaya terhadap modernisasi haruslah bersifat luas dengan memberikan jawaban diluar konteks Barat atau Tmur, melainkan sebagai suatu proses akulturasi. Artinya, berlawanan antara Barat dan Timur menunjukkan adanya dua kelemahan. Pertama, kurangnya pemahaman tentang sistem nilai budaya yang sedang berjalan sehingga begitu saja dinilai bertentangan dengan modernisasi. Kedua, tidak adanya analisis struktural yang menunjukkan bahwa struktur masyarakat penjajahlah yang tidak memungkinkan bangsa Indonesia berkembang untuk menguasai proses transformasi dan bukan sistem budaya masyarakat yang an sich.

C. Pengaruh Modernisasi Terhadap Pembangunan Budaya
Modernisasi merupakan suatu kekuatan besar dalam proses pembangunan suatu bangsa, yang diarahkan sebaga transformasi terancam untuk mewjudkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Modernisasi tidak terlepas dari kehidupan manusia, meiankan terlibat aktif dalam segala aspek kehidupannya, yang dimulai dengan menentukan cara berproduksi serta mengatur cara dan pola tingkah lakunya. Modernisasi dengan kata lain adalah “perpanjangan badan manusia”. Antara modernisasi dan manusai terdapat perpaduan yang erat sekali, dalam perpaduan inilah manusia harus lebih mampu enyeduaikan diri dengan keadaan sekitarnya (adaptasi) dan sebaliknya mengubah keadaan sekitarnya untuk disesuaikan dengan kebutuhannya (organisasi). Dengan nuansa modernisai, manusia diharapkan mampu memberi makna baru pada kenyataan atau memberikan perspektif baru kepadanya.
Dalam perkembangan budaya, ternyata modernisai bukan saja lanjutan badan manusia. Dalam modernisasi, manusia lebih dimungkinkan untuk menampilakn dirinya sendiri (individulistis).
Dalam kemajuan abad ke 20-an kini, modernisasi cenderung tampil sebagai kekuatan otonom terhadap manusia. Dengan demikian, modernisasi disatu pihak mempunyai kekuatan manipulatif terhadap alam dan kebutuhan manusia (Herbert Marcuse dalam Poespowardojo, 1989:68) dan dilain pihak mampu menggeser hubungan sosial dan kedudukan manusia itu sendiri. Kekuatan itu mampu menjangkau manusia secara ekstensif dan mengubah pola budayanya secara intensif, situasi ini menimbulkna kesenjangan yang membawa implikasi baru yaitu terciptanya “disintegrasi sosial” baik secara individual maupun sosial yang mudah membuat masyarakat terkotak-kotak. Lebih jauh lagi implikasi yang muncul adalah terjadinya “konflik nilai”.
Kurangnya proses internalisasi dan penyadaran nilai-nilai akibat kekuatan otonom modernisasi terhadap manusia menyebabkan terjadinya ‘pendangkalan nilai”. Khususnya nilai moral dan etika sosial. Keadaan ini semakin didedak oleh banjirnya materi dan peralatan mutakhir dalam modernisasi sehingga memunculkan dampak pada tumbuhnya gejala-gejala isorientasi budaya yang melanda kota-kota dan selanjutnya menjadi panutan bagi pedesaan. Gejala ini menimbulkna berbagai bentuk cara dalam kehidupan masyarakat, sedangkan perubahan strategi mulai muncul, dengan menimbulkan berbagai krisis.

D. Modernisasi dalam Perspektif Budaya Nasional
Kedudukan modernisasi dalam perspektif budaya nasional adalah bersifat menentukan bagi pembangunan bangsa. Oleh karena itu pemanfatan dan penerapannya harus juga memberikan dampak struktural , yaitu ikut mewujudkan nilai-nilai dasar sebagaimana dpaat ditarik dari orientasi nilai pada landasan idealnya (Pancasila) ataupun mencegah terjadinya gejala-gejala yang bertentangan dengan orientasi nilai-nilai dasar sesuai landasan idealnya dalam peri kehidupan masyarakat.
Budaya nasional juga memandang modernisasi sebagai fungsi instrumental dari proses transformasi nilai pada suatu bangsa. Oleh karena itu, penerapan serta pemanfaatan harus diarahkan sedemikian rupa, sehingga ikut meningkatkan kualitas hidup manusia. Modernisasi akhirnya harus mencerminkan wadah yang manusiawi. Dengan demikian, penerapan modernisasi harus dilatar belakangi dan bahkan didasari oleh orientasi yang kuat dalam masyarakat. Untuk itu, dalam menghadapi berbagai benturan dan konflik nilai, yang mau tidak mau terjadi dalam proses modernisasi, perlu dilakukan institusionalisasi nilai-nilai yang berlandaskan berpedoman pada landasan ideal nilai-nilai masyarakat suatu bangsa (Pancasila), baik sebagai warga negara bangsa sebagai pelakau individual, maupun dalam pola-pola serta hubungan-hubungan sosial sebagai struktur.
Poespowardojo dalam bukunya Strategi Kebudayaan. Suatu Pendekatan Filosofis (1989: 71-72) mengajukan, tiga analisis dari nilai-nilai dasar dari perspektif budaya nasional terhadap modernisasi. Pertama penerapan modernisasi haruslah sedemikian rupa mewujudkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesadaran yang nyata akan adanya pemerataan kesejahteraan akan mengurangi bentuk-bentuk kesenjangan dan ketergantungan yang terjadi dalam hubungan dalam lapisan masyarakat. Dengan sendirinya hal ini akan mendorong terjadinya integrasi nasional yang tumbuh dari dalam. Dengan demikian, pengkotakan sosial akan berkurang dan bahkan menumbuhkan kohesi serta persatuan nasional. Keadaan ini lebih lanjut mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat secara spontan dalam usaha perbaikan proses pembangunan pada umumnya dan secara khusus pada pembangunan budaya nasional.
Kedua, penerapan modernisasi adalah diarahkan untuk mendorong pertumbuhan warga bangsa baik secara individu dalam dimensi sosial-religinya (dilihat dari segi being). Pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan membuka perspektif baru kearah keanekaragaman hidup, dimana masing-masing warga bangsa dapat mengembangkan bakat dan merealisasikan potensi pribadinya. Dengan demikian terjadilah persamaan derajat yang terwujud secara nyata dalam kehidupan demokratis. Kehadiran positif nilai-nilai dasar tersebut merupakan tahap serta unsur menuju terwujudnaya kemandirian kehidupan bangsa yang makin berlandaskan pada kekuatan sendiri, kritis, dan kreatif, yang ditumbuhkan dan dibatinkan melalaui kebudayaan nasional.
Ketiga adalah mengarahkan pemanfaatn agar mendorong terwujudnya keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat, yaitu terciptanya struktur proses kehidupan sosial yang memungkinkan setiap warga bangsa menjalankan hak dan kewajibannya. Lebih jauh dengan tumpuan kadilan sosial ini akan menciptakan stabilitas nasional.
Semua rangkaian nilai-nilai dasar yang menjadi landasan ideal, yang tercakup dalam kebudayaan nasional, akan menjamin pula daanya keseimbangan serta dinamika peningkatan kualitas hidup manusia yang terwujud baik dalam skala individual sebagai pelaku dan sasaran dari modenisasi, maupun dalam nilai dan hubungan sosial sebagai struktur, yang semuanya tercakup dalam kebudayaan.

E. Penutup
Modernisasi sebagai suatu proses transfomasi nilai dalam segala aspek kehidupan manusia sebagai pribadi dan warga bangsa sangat memegang peranan sebagai salah satu unsur dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, kebijaksanaan modernisasi tidaklah boleh dipandang sebagai unsur pembangunan yang terlepas dari unsur-unsur lainnya, sehingga dibiarkan mengikuti gerak dan kecendrungannya sendiri. Modernisasi sebagai kekuatan yang menetukan dalam pembangunan bangsa haruslah diintegrasikan dalam konteks pembangunan secara menyeluruh dan dikendalikan dalam perspektif budaya. Sebab kebudayaan pada hakikatnya merupakan suatu keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat-istiadat, dan segala kecakapan lain, yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Alisyahbana. 1986: 207).
Persepsi dan kebijaksanaan kebudayaan nasional bersifat luas dan mempunyai kedudukan serta peranan yang sangat menentukan dalam proses modernisasi sebagai usaha pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu, sudah selayaknya kebudayaan nasional mendapatkan penghargaan dan tempat yang wajar dalam sistem atau struktur perencanaan dalam pengelolaan pembangunan nasional.


DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S. Takdir. 1986. Antropologi Baru, PT. Dian Rakyat, Jakarta
Koentjaraningrat, 1982. Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. LP3S, Jakarta
Poespowardoyo, Soerjanto, 1989. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis. PT. Gramedia. Jakarta
Schoorl, J.W. 1988. Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT. Gramedia, Jakarta
Sutrisno, Mudji. 1997. Tranformasi? Artikel Pada Harian KOMPAS, Selasa 6 Mei 1997 Hal. 4.


Riwayat Penulis
Dr. Tita Meirina Djuwita, Dra, Msi adalah Dosen Kopertis Wilayah IV Jabar dan Banten DPK pada Fisip Universitas Nurtanio Bandung.